Curug Aleh adalah nama sebuah air terjun di kawasan Sarijadi Bandung.
Curug ini dikenal angker. Banyak cerita mistik dipetik dari lokasi ini.
Selain itu curug ini kerap dijadikan arena ajang ngalap ilmu.
Tak banyak yang mengetahui keberadaan curug ini hal ini dikarenakan lokasinya berada di kawasan hak milik orang lain. Meski begitu, kawasan air terjun Curug Aleh tidak tertutup untuk umum. Siapapun boleh masuk ke kawasan yang kini menjadi milik perupa Nyoman Nuarta itu. Hanya saja, orang tidak bisa dengan bebas keluar masuk kawasan ini. Apalagi sejak beberapa tahun ke belakang, di sekitar curug ini menjadi bengkel pembuatan patung raksasa Garuda Wisnu Kencana. Patung inilah yang kemudian berdiri dengan megahnya di Pulau Dewata Bali.
Hulu aliran air terjun ini berasal dari kaki Gunung Tangkuban Parahu di Lembang dan mengalir membentuk aliran sungai Cibeureum. Uniknya, walaupun terjadi krisis air akibat kemarau panjang, curug ini tak pernah kering. Ketinggian curug ini sekitar 7-10 m dengan kedalaman sungainya bekisar 70-100 cm.
Tak banyak yang mengetahui keberadaan curug ini hal ini dikarenakan lokasinya berada di kawasan hak milik orang lain. Meski begitu, kawasan air terjun Curug Aleh tidak tertutup untuk umum. Siapapun boleh masuk ke kawasan yang kini menjadi milik perupa Nyoman Nuarta itu. Hanya saja, orang tidak bisa dengan bebas keluar masuk kawasan ini. Apalagi sejak beberapa tahun ke belakang, di sekitar curug ini menjadi bengkel pembuatan patung raksasa Garuda Wisnu Kencana. Patung inilah yang kemudian berdiri dengan megahnya di Pulau Dewata Bali.
Hulu aliran air terjun ini berasal dari kaki Gunung Tangkuban Parahu di Lembang dan mengalir membentuk aliran sungai Cibeureum. Uniknya, walaupun terjadi krisis air akibat kemarau panjang, curug ini tak pernah kering. Ketinggian curug ini sekitar 7-10 m dengan kedalaman sungainya bekisar 70-100 cm.
Akses jalan ke Curug Aleh ada dua yaitu Jalan Sarimanah II (ke arah kanan) dan Jalan Sariasih I (ke arah kiri). Nah,
maksud ke arah kanan dan ke arah kiri ini, saat ini dikenal sebagai
Jalan Tirtasari. Sebelum sampai di tempat yang dituju (tempat berenang),
kami sering kali membasuh muka di seke atau cinyusu. Ya, mata air
begitulah. Saat itu, sekenya sudah ditembok, jadi bukan berupa tanah
lagi, tetapi airnya masih tetap mengalir. Wuih, dingin, suegeeerrr.
Segar gitu loh.
Kalau
anda sekarang ini pernah melintasi Jalan (Terusan) Sariasih I, pada
saat itu akses jalan menuju Setraduta dan Politeknik ITB (kini
Politeknik Negeri Bandung) belum ada. Jembatan yang tepat berada di
dekat SLB pun sebenarnya belum ada. Jembatan (yang saat itu masih tanpa
pagar) itu mulai dibangun ketika SLB berdiri (dan Setraduta serta jalan
menuju Politeknik ITB belum ada. Yang ada hanya Politeknik ITB-nya saja
dan mahasiswanya masih memakai Jalan Terusan Gegerkalong Hilir. Malah
angkotnya masih menggunakan Gegerkalong-Ciwaruga karena
Gegerkalong-Polban baru ada belakangan).
0 komentar:
Posting Komentar